Negara-negara BRICS berada di garis depan dalam gerakan yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS untuk perdagangan internasional.
Tren transformatif ini, yang mengumpulkan momentum di luar aliansi BRICS, telah menarik perhatian negara-negara di Afrika dan sekitarnya, yang mengindikasikan adanya potensi perombakan pada sistem keuangan global yang sudah mapan.
Di tengah-tengah pergeseran paradigma ini, aliansi BRICS - yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan - secara strategis menantang dominasi historis dolar AS.
Pergeseran ini tidak terbatas pada retorika belaka, tetapi merupakan transisi yang disengaja untuk memprioritaskan mata uang lokal dalam transaksi internasional.
Efek Domino dari De-Dolarisasi
Secara sistematis membongkar cengkeraman dolar AS pada perdagangan global, blok BRICS mengatur transformasi secara bertahap namun mendalam.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Tiongkok secara aktif mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan di antara negara-negara berkembang, mengesampingkan USD.
Dorongan strategis ini telah membuahkan hasil yang nyata, dengan negara-negara seperti Rusia, India, Pakistan, dan Arab Saudi yang menyatakan keterbukaannya untuk menyelesaikan perdagangan dalam mata uang lokal mereka, bukan dalam dolar AS.
Meluas di luar konsorsium BRICS, gelombang de-dollarisasi mencapai pantai Afrika, dengan negara-negara seperti Kenya dan Nigeria yang sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan USD dalam perdagangan internasional.
Efek Riak pada Sistem Keuangan Global
Langkah yang diperhitungkan oleh negara-negara BRICS ini merupakan tantangan yang halus namun kuat terhadap hegemoni dolar AS. Dengan menggunakan struktur piramida terbalik, strategi ini melibatkan pengikisan dominasi Dolar AS tanpa konfrontasi langsung.
Dengan semakin banyaknya negara yang menandatangani perjanjian untuk bertransaksi dalam mata uang lokal, dampaknya terhadap supremasi dolar AS yang sudah berlangsung lama menjadi semakin nyata.
Dolar AS, yang terbiasa dengan dominasi yang tak tertandingi, kini menghadapi tekanan dari semakin banyaknya negara yang memilih mata uang lokal dalam bertransaksi.
Implikasinya lebih dari sekadar preferensi mata uang, menandai potensi transformasi sistem keuangan tradisional yang berpusat di AS.
Konsekuensinya sangat besar; tatanan dunia yang muncul, yang dipimpin oleh negara-negara berkembang, tidak hanya menandakan pergeseran ekonomi tetapi juga deklarasi kemandirian finansial.
Meskipun gerakan de-dollarisasi dapat terjadi secara bertahap, potensinya untuk membentuk kembali dinamika keuangan global sangat besar.
Intinya, gerakan ini menantang dolar AS, yang pernah menjadi tumpuan dunia keuangan yang tak terbantahkan.
Dengan semakin banyaknya negara yang mengikuti tren ini, efeknya akan bergema di seluruh benua, menandai era baru dalam perdagangan internasional dan hubungan ekonomi.
Transisi ke mata uang lokal dalam perdagangan global bukan hanya sekedar pilihan finansial; ini merupakan manuver geopolitik, yang mengindikasikan pergeseran dalam dinamika kekuatan global dan dominasi negara-negara berkembang di arena ekonomi global.